bismilah

bismilah

Cari Blog Ini

Kamis, 17 Juni 2010

Hidup Adalah Memaknai

“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkakan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan, serta menolak kejahatan dengan kebaikan, orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan yang baik, yaitu surga ‘Adn, Mereka masuk kedalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya. Sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan): “keselamatan atasmu berkat kesabaranmu.” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.
( QS Al-Ra’d : 22-24 )

Betapa Allah memberikan kelebihan balasan kepada mereka yang memiliki kesabaran, dan menjadikan kesabaran itu sebagai cara mensikapi kenyataan hidupnya (walaupun terkadang amat pahit untuk dijalani). Beragam cobaan datang menerpa, baik itu berupa kebaikan atau keburukan, dapat dengan bijak diatasi dengan kesabaran yang dimilikinya.

Hati yang didalamnya bersemayam “sabar”, menjadikan personanya memiliki sikap positif terhadap kemungkinan. Bukankah masa depan tidak lain adalah berisi kemungkinan-kemungkinan ? dan sikap positif terhadap kesemuanya itu, tentu membuahkan harapan hidup lebih besar bagi seorang mukmin. Sementara itu, kehadiran “sabar” dalam hati seseorang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya memaknai berbagai peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.

Pengetahuan akan hakekat hidup menjadi factor penting dalam menentukan kualitas sabar dalam diri seseorang. Untuk itulah Allah melalui firman-firman-Nya, Rasulullah saw. Melalui sabdanya, menjelaskan dann mengungkapkan hakekat dan tujuan dari beragam cobaan hidup yang menimpa kita, sehingga kita mendapatkan “keselamatan” sebagai “berkah” dari “kesabaran” yang kita miliki.

Dari Abu Hurayrah, Rasulullah saw. Bersabda, “Allah berfirman, Jika Aku menguji hamba-Ku yang beriman dan ia tidak mengeluhkan penyakitnya kepada-Ku, maka ia akan Aku bebaskan dari penawanan-Ku. Kemudian Aku akan menggantikan dagingnya dengan daging yang lebih baik dari dagingnya, darahnya dengan darah yang lebih baik. Sehingga iapun memulai lembaran amal yang baru.” (HR. Al-Hakim)

Dan disaat A’isyah ditanya tentang firman Allah, “Dan jika kamu menampakan apa yang ada dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan denganmu tentang perbuatan itu.” (QS. Al-Baqarah : 284), dan firman-Nya, “Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.” (QS. An-Nisa’ : 123). A’isyah berkata, “Tak seorangpun bertanya kepadaku tentang ayat ini sejak aku menanyakannya kepada Rasulullah saw. Ketika itu, beliau bersabda kepadaku, “Wahai A’isyah, ini ujian Allah kepada hamba-Nya berupa penyakit demam, bencana, kesulitan, sampai kehilangan barang yang ia simpan di sakunya dan sempat mencemaskannya, tetapi ia lalu temukan dibawah ketiaknya (dengan ujian itu) seorang mukmin keluar dari dosa-dosanya seperti keluarnya emas merah dari tungku ukupan” (H.R. Ibn Abi al-Dunya).

Demikianlah tuntunan Rasulullah saw. Guna memaknai berbagai peristiwa dalam kehidupan ini (terlebih-lebih disaat cobaan serta ujian hidup datang).

Abd al-Rahman ibn Abu Bakr berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “Sesungguhnya perumpamaan seorang hamba yang beriman ketika ditimpa rasa nyeri ataupun demam, adalah seperti besi yang dimasukan api. Itu dapat menghilangkan cacatnya dan yang tinggal hanya kebaikannya.” (HR. al-Hakim).

Dari al-Hasan, dalam sebuah hadist yang marfuk Rasulullah saw. Bersabda, “sesungguhnya Allah akan menutupi seluruh kesalahan seseorang mukmin dengan menimpakan demam pada satu malam saja” (HR Ibn Abi al-Dunya).

Abu Burdah berkata, “Suatu ketika aku berada dekat Mu’awiyah, dan seorang dokter sedang mengobati luka dipunggungnya. Ia berkata. “Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang muslim mendapat musibah pada tubuhnya, kecuali ia menjadi kaffarat bagi dosa-dosanya.” (HR. Ahmad)

Anas berkata, Rasulullah saw. Bersabda, “Menjauhi dunia bukan dengan mengharamkan apa yang halal dan membuang harta. Tetapi, hendaknya apa yang ditanganmu tidak lebih kamu percayai dari apa yang ada di tangan Allah. Hendaknya musibah yang menimpamu karena kehilangan sesuatu lebih kamu sukai daripada sesuatu yang hilang itu tetap bersamamu.” (HR. al-Tirmidzi)

Etika Bergaul

Cita-cita tertinggi seorang muslim, ialah agar dirinya dicintai Allah, menjadi orang bertakwa yang dapat diperoleh dengan menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak manusia. diantara tanda-tanda seseorang dicintai Allah, yaitu jika dirinya dicintai olah orang-orang shalih, diterima oleh hati mereka. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi was sallam bersabda.

“Artinya : Sesungguhnya Allah jika mencintai seorang hamba, Ia memanggil Jibril, “Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka cintailah ia.”Lalu Jibril mencintainya dan menyeru kepada penduduk langit, “Sesungguhnya Allah mencintai si fulan, maka cintailah ia.”Maka (penduduk langit) mencintainya, kemudian menjadi orang yang diterima di muka bumi.” [Hadits Bukhari dan Muslim,dalam Shahih Jami’ush Shaghir no.283]

Diantara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh orang-orang shalih di muka bumi ini, diantaranya ia mencintai mereka karena Allah, berakhlak kepada manusia dengan akhlak yang baik, memberi manfaat, melakukan hal-hal yang disukai manusia dan menghindari dari sikap-sikap yang tidak disukai manusia.

Berikut ini beberapa dalil yang menguatkan keterangan di atas.

Allah berfirman.

“Artinya : Pergauilah mereka (isteri) dengan baik”. [An-Nisaa : ’1]

“Artinya : Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik”. [Ali-Imran : 134]

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda.

“Artinya : Bertakwalah engkau dimanapun engkau berada, Sertailah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan itu akan menghapus keburukan.Dan berakhlaklah kepada manusia dengan akhlak yang baik” [HR.Tirmidzi, ia berkata :Hadits hasan]

“Artinya : Seutama-utama amal Shalih, ialah agar engkau memasukkan kegembiraan kepada saudaramu yang beriman”.[HR.Ibn Abi Dunya dan dihasankan olah Syaikh Al-Albani dalam Shahih Jami’ush Shaghir 1096]

URGENSI PEMBAHASAN ETIKA BERGAUL
Adab bergaul dengan manusia merupakan bagian dari akhlakul karimah (akhlak yang mulia). akhlak yang mulia itu sendiri merupakan bagian dari dienul Islam. Walaupun prioritas pertama yang diajarkan olah para Nabi adalah tauhid, namun bersamaan dengan itu, mereka juga mengajarkan akhlak yang baik. Bahkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam diutus untuk menyempurnakan akhlak. beliau Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah seorang manusia yang berakhlak mulia. Allah berfirman.

“Artinya : Dan sesungguhnya engkau berada di atas akhlak yang agung”.[Al-Qalam 4]

Dan kita diperintahkan untuk mengikuti beliau, taat kepadanya dan menjadikannya sebagai teladan dalam hidup. Allah telah menyatakan dalam firman-Nya :

“Artinya : Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu contoh teladan yang baik” [Al-Ahzab 21]

Dengan mempraktekkan adab-adab dalam bergaul, maka kita akan memperoleh manfaat, yaitu berupa ukhuwah yang kuat diantara umat Islam, ukhuwah yang kokoh, yang dilandasi iman dan keikhlasan kepada Allah. Allah telah berfirman.

“Artinya : Dan berpegang teguhlah kalian denga tali (agama ) Allah bersama-sama , dan janganlah kalian bercerai-berai, Dan ingatlah nikmat Allah yang telah Allah berikan kepada kalian, ketika kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah lunakkan hati-hati kalian sehingga dengan nikmat-Nya, kalian menjadi bersaudara, padahal tadinya kalian berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kalian daripadanya. Demikianlah Allah menjelaskan kepada kalian ayat-ayatnya, agar kalian mendapat petunjuk” [Al-Imran : 103]
.
Oleh karena itu, adab-adab bergaul ini sangat perlu dipelajari untuk kita amalkan. kita harus mengetahui, bagaimana adab terhadap orang tua, adab terhadap saudara kita, adab terhadap istri kita, adab seorang istri terhadap suaminya, adab terhadap teman sekerja atau terhadap atasan dan bawahan. Jika kita seorang da’i atau guru, maka harus mengetahui bagaimana adab bermuamalah dengan da’i atau lainnya dan dengan mad’u (yang didakwahi) atau terhadap muridnya. Demikian juga apabila seorang guru, atau seorang murid atau apapun jabatan dan kedudukannya, maka kita perlu untuk mengetahui etika atau adab-adab dalam bergaul.

Kurang mempraktekkan etika bergaul, menyebabkan dakwah yang haq dijauhi oleh manusia. Manusia menjadi lari dari kebenaran disebabkan ahli haq atau pendukung kebenaran itu sendiri melakukan praktek yang salah dalam bergaul dengan orang lain. Sebenarnya memang tidaklah dibenarkan seseorang lari dari kebenaran, disebabkan kesalahan yang dilakukan oleh orang lain.

Jika inti ajaran yang dibawa oleh seseorang itu benar, maka kita harus menerimanya, dengan tidak memperdulikan cara penyampaiannya yang benar atau salah, etikanya baik atau buruk, akan tetapi pada kenyataannya, kebanyakan orang melihat dulu kepada etika orang itu. Oleh karena itu, mengetahui etika ini penting bagi kita, sebagai muslim yang punya kewajiban saling menasehati sesama manusia, agar bisa mempraktekkan cara bergaul yang benar.

MOTIVASI DALAM BERGAUL
Faktor yang mendorong seorang muslim dalam bergaul dengan orang lain ialah semata-mata mencari ridha Allah. ketika seorang muslim tersenyum kepada saudaranya, maka itu semata-mata mencari ridha Allah, karena tersenyum merupakan perbuatan baik. Demikian juga ketika seorang muslim membantu temannya atau ketika mendengarkan kesulitan-kesulitan temannya, ketika menepati janji, tidak berkata-kata yang menyakitkan kepada orang lain, maka perbuatan-perbuatan itu semata-mata untuk mencari ridha Allah, Demikianlah seharusnya. jangan sebaliknya, yaitu, bertujuan bukan dalam rangka mencari ridha Allah. Misalnya : bermuka manis kepada orang lain, menepati janji, berbicara lemah-lembut, semua itu dilakukan karena kepentingan dunia. atau ketika berurusan dalam perdagangan, sikapnya ditunjukkan hanya semata-mata untuk kemaslahatan dunia. tingkah laku seperti ini yang membedakan antara muslim dengan non muslim.

Bisa saja seorang muslim bermuamalah dengan sesamanya karena tujuan dunia semata. Seseorang mau akrab, menjalin persahabatan disebabkan adanya keuntungan yang didapatnya dari orang lain. Manakala keuntungan itu tidak didapatkan lagi, maka ia berubah menjadi tidak mau kenal dan akrab lagi. Atau seseorang senang ketika oramg lain memberi sesuatu kepadanya, akan tetapi ketika sudah tidak diberi, kemudian berubah menjadi benci. Hal seperti itu bisa terjadi pada diri seorang muslim. Sikap seperti itu merupakan perbuatan salah.

Al-Imam Ibn Qayyim rahimahullah menjelaskan dalam kitab Zaadul Ma’ad juz ke-4 hal 249 : “Diantara kecintaan terhadap sesama muslim ada yang disebut mahabbatun linaili gharadlin minal mahbud, yaitu suatu kecintaan untuk mencapai tujuan dari yang dicintainya, bisa jadi tujuan yang ingin ia dapatkan dari kedudukan orang tersebut, atau hartanya, atau ingin mendapatkan manfaat berupa ilmu dan bimbingan orang tersebut, atau untuk tujuan tertentu; maka yang demikian itu disebut kecintaan karena tendensi. atau karena ada tujuan yang ingin dicapai, kemudian kecintaan ini akan lenyap pula seiring dengan lenyapnya tujuan tadi. Karena sesungguhnya, siapa saja yang mencintaimu dikarenakan adanya suatu keperluan, maka ia akan berpaling darimu jika telah tercapai keinginannya”. hal seperti ini sering terjadi dalam kehidupan kita.

Contohnya :seorang karyawan sangat menghormati dan perhatian kepada atasannya di tempat kerja. tetapi apabila atasannya itu sudah pensiun atau sudah tidak menjabat lagi, karyawan ini tidak pernah memikirkan dan memperhatikannya lagi.

Begitu juga ketika seseorang masih menjadi murid, sangat menghormati gurunya. Namun ketika sudah lulus (tidak menjadi muridnya lagi), bahkan sekolahnya sudah lebih tinggi dari gurunya itu, bertemu di jalan pun enggan untuk menyapa.

Banyak orang yang berteman akrab hanya sebatas ketika ada kepentingannya saja.yakni ketika menguntungkannya, dia akrab, sering mengunjungi, berbincang-bincang dan memperhatikannya.namun ketika sudah tidak ada keuntungan yang bisa didapatnya, kenal pun tidak mau.

Ada juga seseorang yang hanya hormat kepada orang kaya saja. Adapun kepada orang miskin, memandang pun sudah tidak mau. Hal semacam ini bukan berasal aturan-aturan Islam. menilai seseorang hanya dikarenakan hartanya, hanya karena nasabnya, hanya karena ilmunya, yaitu jika kepada orang yang berilmu dia hormat dan menyepelekan kepada orang yang tak berilmu. hal-hal seperti itu merupakan perbuatan yang keliru.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan dalam Majmu’Fatawa juz 10, beliau berkata: “Jiwa manusia itu telah diberi naluri untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya, namun pada hakekatnya sesungguhnya hal itu sebagai kecintaan kepada kebaikan, bukan kepada orang yang telah berbuat baik.apabila orang yang berbuat baik itu memutuskan kebaikannya atau perbuatan baiknya, maka kecintaannya akan melemah, bahkan bisa berbalik menjadi kebencian. Maka kecintaan demikian bukan karena Allah.

Barangsiapa yang mencintai orang lain dikarenakan dia itu memberi sesuatu kepadanya, maka dia semata-mata cinta kepada pemberian. Dan barang siapa yang mengatakan: “saya cinta kepadanya karena Allah”, maka dia pendusta. Begitu pula, barang siapa yang menolongnya, maka dia semata-mata mencintai pertolongan, bukan cinta kepada yang menolong. Yang demikian itu, semuanya termasuk mengikuti hawa nafsu. Karena pada hakekatnya dia mencintai orang lain untuk mendapatkan manfaat darinya, atau agar tehindar dari bahaya. Demikianlah pada umumnya manusia saling mencintai pada sesamanya, dan yang demikian itu tidak akan diberi pahala di akhirat, dan tidak akan memberi manfaat bagi mereka. Bahkan bisa jadi hal demikian itu mengakibatkan terjerumus pada nifaq dan sifat kemunafikan.

Ucapan Ibn Taimiyah rahimahullah ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Az-Zukhruf 67,artinya: “teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang bertakwa. adapun orang-orang bertakwa, persahabatan mereka akan langgeng sampai di alam akhirat, karena didasari lillah dan fillah. Yaitu cinta karena Allah.

Sebaliknya, bagi orang-orang yang tidak bertakwa, di akhirat nanti mereka akan menjadi musuh satu sama lain. Persahabatan mereka hanya berdasarkan kepentingan dunia. Diantara motto mereka ialah: “Tidak ada teman yang abadi, tidak ada musuh yang abadi, yang ada hanya kepentingan yang abadi”.

Dasar persahabatan mereka bukan karena dien, tetapi karena kepentingan duniawi. Berupa ambisi untuk mendapatkan kekuasaan, harta dan sebagainya dengan tidak memperdulikan apakah cara yang mereka lakukan diridhoi Allah, sesuai dengan aturan-aturan Islam ataukah tidak.

SIKAP-SIKAP YANG DISUKAI MANUSIA
[a]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberi Perhatian Kepada Orang Lain.

Diantara bentuk perhatian kepada orang lain, ialah mengucapkan salam, menanyakan kabarnya, menengoknya ketika sakit, memberi hadiah dan sebagainya. Manusia itu membutuhkan perhatian orang lain. Maka, selama tidak melewati batas-batas syar’i, hendaknya kita menampakkan perhatian kepada orang lain. seorang anak kecil bisa berprilaku nakal, karena mau mendapat perhatian orang dewasa. orang tua kadang lupa bahwa anak itu tidak cukup hanya diberi materi saja. Merekapun membutuhkan untuk diperhatikan, ditanya dan mendapat kasih sayang dari orang tuanya. Apabila kasih sayang tidak didapatkan dari orang tuanya, maka anak akan mencarinya dari orang lain.

[b]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Mau Mendengar Ucapan Mereka.

Kita jangan ingin hanya ucapan kita saja yang didengar tanpa bersedia mendengar ucapan orang lain. kita harus memberi waktu kepada orang lain untuk berbicara. Seorang suami –misalnya-ketika pulang ke rumah dan bertemu istrinya, walaupun masih terasa lelah, harus mencoba menyediakan waktu untuk mendengar istrinya bercerita. Istrinya yang ditinggal sendiri di rumah tentu tak bisa berbicara dengan orang lain. Sehingga ketika sang suami pulang, ia merasa senang karena ada teman untuk berbincang-bincang. Oleh karena itu, suami harus mendengarkan dahulu perkataan istri. Jika belum siap untuk mendengarkannya, jelaskanlah dengan baik kepadanya, bahwa dia perlu istirahat dulu dan nanti ceritanya dilanjutkan lagi.

Contoh lain, yaitu ketika teman kita berbicara dan salah dalam bicaranya itu, maka seharusnya kita tidak memotong langsung, apalagi membantahnya dengan kasar. kita dengarkan dulu pembicaraannya hingga selesai, kemudian kita jelaskan kesalahannya dengan baik.

[c]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Menjauhi Debat Kusir.

Allah berfirman. "Artinya: “Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah, dan nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik,” Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam kasetnya, menerangkan tentang ayat : "Serulah kepada jalan Rabbmu dengan hikmah". Beliau berkata, “manusia tidak suka kepada orang yang berdiskusi dengan hararah (dengan panas). Karena umumnya orang hidup dengan latar belakang……..dan pemahaman yang berbeda dengan kita dan itu sudah mendarah daging……..sehinnga para penuntut ilmu, jika akan berdiskusi dengan orang yang fanatik terhadap madzhabnya, (maka) sebelum berdiskusi dia harus mengadakan pendahuluan untuk menciptakan suasana kondusif antara dia dengan dirinya. target pertama yang kita inginkan ialah agar orang itu mengikuti apa yang kita yakini kebenarannya, tetapi hal itu tidaklah mudah. Umumnya disebabkan fanatik madzhab, mereka tidak siap mengikuti kebenaran. target kedua, minimalnya dia tidak menjadi musuh bagi kita. Karena sebelumnya tercipta suasana yang kondusif antara kita dengan dirinya. Sehingga ketika kita menyampaikan yang haq, dia tidak akan memusuhi kita disebabkan ucapan yang haq tersebut. Sedangkan apabila ada orang lain yang ada yang berdiskusi dalam permasalahan yang sama, namun belum tercipta suasana kondusif antara dia dengan dirinya, tentu akan berbeda tanggapannya.

[d]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberikan Penghargaan Dan Penghormatan Kepada Orang Lain.

Nabi mengatakan, bahwa orang yang lebih muda harus menghormati orang yang lebih tua, dan yang lebih tua harus menyayangi yang lebih muda. Permasalahan ini kelihatannya sepele. Ketika kita shalat di masjid……namun menjadikan seseorang tersinggung karena dibelakangi. Hal ini kadang tidak sengaja kita lakukan. Oleh karena itu, dari pengalaman kita dan orang lain, kita harus belajar dan mengambil faidah. Sehingga bisa memperbaiki diri dalam hal menghormati orang lain. Hal-hal yang membuat diri kita tersinggung, jangan kita lakukan kepada orang lain. Bentuk-bentuk sikap tidak hormat dan pelecehan, harus kita kenali dan hindarkan.

Misalnya, ketika berjabat tangan tanpa melihat wajah yang diajaknya. Hal seperti itu jarang kita lakukan kepada orang lain. Apabila kita diperlakukan kurang hormat, maka kita sebisa mungkin memakluminya. Karena-mungkin-orang lain belum mengerti atau tidak menyadarinya. Ketika kita memberi salam kepada orang lain, namun orang tersebut tidak menjawab, maka kita jangan langsung menuduh orang itu menganggap kita ahli bid’ah atau kafir. Bisa jadi, ketika itu dia sedang menghadapi banyak persoalan sehingga tidak sadar ada yang memberi salam kepadanya, dan ada kemungkinan-kemungkinan lainnya. Kalau perlu didatangi dengan baik dan ditanyakan,agar persoalannya jelas. Dalam hal ini kita dianjurkan untuk banyak memaafkan orang lain.

Allah berfirman.
"Artinya: “Terimalah apa yang mudah dari akhlaq mereka dan perintahkanlah orang lain mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” [Al-A’raaf : 199]

[e]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memberi Kesempatan Kepada Orang Lain Untuk Maju.

Sebagai seorang muslim, seharusnya senang jika saudara kita maju, berhasil atau mendapatkan kenikmatan, walaupun secara naluri manusia itu tidak suka, jika ada orang lain yang melebihi dirinya. Naluri seperti ini harus kita kekang dan dikikis sedikit demi sedikit. Misalnya, bagi mahasiswa. Jika di kampus ada teman muslim yang lebih pandai daripada kita. Maka kita harus senang. Jika kita ingin seperti dia, maka harus berikhtiar dengan rajin belajar dan tidak bermalas-malasan. Berbeda dengan orang yang dengki, tidak suka jika temannya lebih pandai dari dirinya. Malahan karena dengkinya itu dia bisa-bisa memboikot temannya dengan mencuri catatan pelajarannya dan sebagainya.

[f]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Tahu Berterima Kasih Atau Suka Membalas Kebaikan.

Hal ini bukan berarti dibolehkan mengharapkan ucapan terima kasih atau balasan dari manusia jika kita berbuat kebaikan terhadap mereka. Akan tetapi hendaklah tidak segan-segan untuk mengucapkan terima kasih dan membalas kebaikan yang diberikan orang lain kepada kita.

[g]. Manusia Suka Kepada Orang Yang Memperbaiki Kesalahan Orang Lain Tanpa Melukai Perasaannya.

Kita perlu melatih diri untuk menyampaikan ungkapan kata-kata yamg tidak menyakiti perasaan orang lain dan tetapSampai kepada tujuan yang diinginkan. Dalam sebuah buku diceritakan, ada seorang suami yang memberikan ceramah dalam suatu majelis dengan bahasa yang cukup tinggi, sehingga tidak bisa dipahami oleh yang mengikuti majelis tersebut. Ketika pulang, dia menanyakan pendapat istrinya tentang ceramahnya. Istrinya menjawab dengan mengatakan, bahwa jika ceramah tersebut disampaikan di hadapan para dosen, maka tentunya akan tepat sekali.

Ucapan itu merupakan sindiran halus, bahwa ceramah itu tidak tepat disampaikan di hadapan hadirin saat itu, dengan tanpa mengucapkan perkataan demikian. Hal ini bukan berarti kita harus banyak berbasa-basi atau bahkan membohongi orang lain. Namun hal ini agar tidak melukai perasaan orang, tanpa kehilangan maksud untuk memperbaikinya.

SIKAP-SIKAP YANG TIDAK DISUKAI MANUSIA
Kita mempelajari sikap-sikap yang tidak disukai manusia agar terhindar dari sikap seperti itu. Maksud dari sikap yang tidak disukai manusia, ialah sikap yang menyelisihi syariat. berkaitan dengan sikap-sikap yang tidak disukai manusia, tetapi Allah ridho, maka harus kita utamakan. Dan sebaliknya, terhadap sikap-sikap yang dibenci oleh Allah, maka harus kita jauhi.

Adapun perbuatan-perbuatan yang tidak disukai manusia ialah sebagai berikut.

Pertama.
Memberi Nasehat Kepadanya Di Hadapan Orang Lain.

Al Imam Asy Syafii berkata dalam syairnya yang berbunyi.

Sengajalah engkau memberi nasehat kepadaku ketika aku sendirian
Jauhkanlah memberi nasehat kepadaku dihadapan orang banyak
Karena sesungguhnya nasehat yang dilakukan dihadapan manusia
Adalah salah satu bentuk menjelek – jelekkan
Aku tidak ridho mendengarnya
Apabila engkau menyelisihiku dan tidak mengikuti ucapanku
Maka janganlah jengkel apabila nasehatmu tidak ditaati

Kata nasehat itu sendiri berasal dari kata nashala, yang memiliki arti khalasa, yaitu murni. Maksudnya, hendaklah jika ingin memberikan nasehat itu memurnikan niatnya semata –mata karena Allah. Selain itu, kata nasehat juga bermakna khaththa, yang artinya menjahit. Maksudnya, ingin memperbaiki kekurangan orang lain. maka secara istilah, nasehat itu artinya keinginan seseorang yang memberi nasehat agar orang yang diberi nasehat itu menjadi baik.

Kedua.
Manusia Tidak Suka Diberi Nasehat Secara Langsung.

Hal ini dijelaskan Al Imam Ibn Hazm dalam kitab Al Akhlaq Was Siyar Fi Mudawatin Nufus, hendaklah nasehat yang kita berikan itu disampaikan secara tidak langsung. Tetapi, jika orang yang diberi nasehat itu tidak mengerti juga, maka dapatlah diberikan secara langsung.

Ada suatu metoda dalam pendidikan, yang dinamakan metoda bimbingan secara tidak langsung. Misalnya sebuah buku yang ditulis oleh Syaikh Shalih bin Humaid, imam masjidil Haram, berjudul At Taujihu Ghairul Mubasyir (bimbingan secara tidak langsung).

Metoda ini perlu dipraktekkan, walaupun tidak mutlak. Misalnya, ketika melihat banyak kebid’ahan yang dilakukan oleh seorang ustadz di suatu pengajian, maka kita tanyakan pendapatnya dengan menyodorkan buku yang menerangkan kebid’ahan-kebid’ahan yang dilakukannya.

Ketiga.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Selalu Memojokkannya Dengan Kesalahan – Kesalahannya.

Yang dimaksud dengan kesalahan-kesalahan disini, yaitu kesalahan yang tidak fatal; bukan kesalahan yang besar semisal penyimpangan dalam aqidah. Karena manusia adalah makhluk yang banyak memiliki kekurangan-kekurangan pada dirinya.

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alus Syaikh menjelaskan dalam ceramahnya, bahwa ada empat fenomena yang mengotori dakwah Ahlu Sunnah Wal Jamaah.

[1]. Memandang sesuatu hanya dari satu sisi, yaitu hanya dalam masalah-masalah ijtihadiyah.
[2]. Isti’jal atau terburu-buru.
[3]. Ta’ashub atau fanatik.
[4]. Thalabul kamal atau menuntut kesempurnaan.

Syaikh Shalih menjelaskan, selama seseorang berada di atas aqidah yang benar, maka kita seharusnya saling nasehat-menasehati, saling mengingati antara satu dengan yang lain. bukan saling memusuhi. Rasulullah bersabda yang artinya, “janganlah seorang mukmin membenci istrinya, karena jika dia tidak suka dengan satu akhlaknya yang buruk, dia akan suka dengan akhlaqnya yang baik.

Imam Ibn Qudamah menjelaskan dalam kitabMukhtasar Minhajul Qashidin, bahwa ada empat kriteria yang patut menjadi pedoman dalam memilih teman.

[1]. Aqidahnya benar.
[2]. Akhlaqnya baik.
[3]. Bukan dengan orang yang tolol atau bodoh dalam hal berprilaku. Karena dapat menimbulkan mudharat.
[4]. Bukan dengan orang yang ambisius terhadap dunia atau bukan orang yang materialistis.

Keempat.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Tidak Pernah Melupakan Kesalahan Orang Lain.

Sebagai seorang muslim, kita harus bisa memafkan dan melupakan kesalahan orang lain atas diri kita. tidak secara terus-menerus mengungkit-ungkit, apalagi menyebut-nyebutnya di depan orang lain. terkadang pada kondisi tertentu, membalas kejahatan itu bisa menjadi suatu keharusan atau lebih utama. Syaikh Utsaimin dalam kitab Syarh Riyadush Shalihin menjelaskan, bahwa memaafkan dilakukan bila terjadi perbaikan atau ishlah dengan pemberian maaf itu. Jika tidak demikian, maka tidak memberi maaf lalu membalas kejahatannya.

Kelima.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Sombong.

Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga, barang siapa yang di dalam hatinya ada sifat sombong, walau sedikit saja…….. " sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain. ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan manusia menjadi sombong.

[1]. Harta atau uang .
[2]. Ilmu.
[3]. Nasab atau keturunan.

Keenam
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Terburu-Buru Memvonis Orang Lain.

Dr. Abdullah Al Khatir rahimahullah menjelaskan, bahwa di masyarakat ada fenomena yang tidak baik. Yaitu sebagian manusia menyangka, jika menemukan orang yang melakukan kesalahan, mereka menganggap, bahwa cara yang benar untuk memperbaikinya, ialah dengan mencela atau menegur dengan keras. Padahal para ulama memilik kaedah, bahwa hukum seseorang atas sesuatu, merupakan cabang persepsinya atas sesuatu tersebut.

Ketujuh.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Mempertahankan Kesalahannya, Atau Orang Yang Berat Untuk Rujuk Kepada Kebenaran Setelah Dia Meyakini Kebenaran Tersebut.

Syaikh Abdurrahman bin Yahya Al Mu’allimi rahimahullah berkata, “pintu hawa nafsu itu tidak terhitung banyaknya”. oleh karena itu, kita harus berusaha menahan hawa nafsu dan menundukkannya kepada kebenaran. Sehingga lebih mencintai kebenaran daripada hawa nafsu kita sendiri.

Kedelapan.
Manusia Tidak Suka Kepada Orang Yang Menisbatkan Kebaikan Kepada Dirinya Dan Menisbatkan Kejelekan Kepada Orang Lain.

Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam kasetnya yang menjelaskan syarh Hilyatul ‘ilm, tentang adab ilmu. Beliau menjelaskan, bahwa jika kita mendapati atsar dari salaf yang menisbatkan kebaikan kepada dirinya, maka kita harus husnudzan. Bahwa hal itu diungkapkan bukan karena kesombongan, tetapi untuk memberikan nasehat kepada kita.

Dalam kitab Ighasatul Lahfan, Al Imam Ibn Qayyim menjelaskan, bahwa manusia diberi naluri untuk mencintai dirinya sendiri. Sehingga apabila terjadi perselisihan dengan orang lain, maka akan menganggap dirinya yang berada di pihak yang benar, tidak punya kesalahan sama sekali. sedangkan lawannya, berada di pihak yang salah. Dia merasa dirinya yang didhalimi dan lawannyalah yang berbuat dhalim kepadanya. Tetapi, jika dia memperhatikan secara mendalam, kenyataannya tidaklah demikian.

Oleh karena itu, kita harus terus introspeksi diri dan hati-hati dalam berbuat. Agar bisa menilai apakah langkah kita sudah benar. Wallahu a’lam.

Hindari Sifat Hasad

Ujian Allah
Allah memberikan nimmatNya tidak sama pada semua hambaNya, ada yang diberi banyak dan ada yang sedikit. Semua itu untuk menguji para hambaNya dalam kehidupan dunia ini. Ujian ini bagaikan api membersihkan dan memisahkan emas dari campurannya. Sehingga dengan ujian ini dapat terlihat mana yang benar-benar beriman dan yang tidak. Oleh karena itu jangan sampai kita kalah dalam ujian tersebut.

Adam vs Iblis.
Karena perbedaan inilah, sering timbul sifat-sifat jelek hamba Allah terhadap yang lainnya. Lihat awal perseteruan Adam dan iblis, ketika Iblis melanggar perintah Allah untuk sujud kepada Adam disebabkan perasaan hasadnya terhadap Adam. Ia merasa Allah tidak adil dalam perintah tersebut, bagaimana tidak? –menurut Iblis-. Ia yang lebih baik dan pantas dari Adam mendapat kemuliaan tersebut, kok malahan diminta sujud padanya, sampai ia mengatakan:
:”Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. 7:12)
Perseteruan itu ada disebabkan hasad kepada Adam yang telah Allah muliakan. Akibatnya Allah kutuk Iblis dan menjadikannya musuh anak Adam sampai hari kiamat.
Demikian juga permusuhan orang kafir terhadap kaum mukminin, sehingga mereka mengerahkan segala kekuatan dan daya upaya untuk menjauhkan kaum mukmin dari keimanan, sebagaimana dijelaskan Allah dalam firmanNya:
Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma’afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguh-Nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 2:109)

Apa itu Hasad?
Hasad atau dengki adalah sifat seseorang yang tidak suka orang lain lebih darinya atau tidak suka orang lain mendapatkan kenikmatan Allah baik dengan keinginan kenikmatan tersebut hilang darinya atau tidak, bila disertai perasaan ingin menghancurkan milik orang lain maka ini merupakan hasad tingkat tinggi dan paling jelek, seperti hasadnya Iblis kepada Adam.
Sifat hasad ini dapat digambarkan dengan contoh, misalnya tetangga kita memiliki kelebihan harta benda, atau anak atau istri yang cantik jelita atau memiliki kedudukan dan nama baik dimasyarakat, lalu kita iri dan dengki kepadanya, baik berusaha jelek merusaknya ataupun tidak. Sifat hasad ini dapat membuat orang berbuat dzolim kepada tetangganya, bahkan juga ngosipin dan menjelek-jelekkannya didepan orang lain. Tentu ini akan menjadikan suasana bermasarakat yang tidak kondusif dan buruk sekali.

10 Bahaya Hasad

Hasad sangat berbahaya sekali, diantara bahayanya adalah:

1. hasad merupakan sifat orang yahudi yang Allah laknat, sehingga siapa yang memilikinya berarti telah menyerupai mereka. Allah berfirman tentang hal ini:
Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran karunia yang Allah telah berikan kepadanya Sesungguhnya Kami telah memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah memberikan kepadanya kerajaan yang besar. (QS. 4:54)

2. orang yang memiliki sifat hasad tidak dapat menyempurnakan imannya, sebab ia tidak akan dapat mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Padahal Rasululloh bersabda:
tidak sempurna iman salah seorang kalian sampai cinta untuk saudaranya seperti cinta untuk dirinya. (Muttafaqun Alaihi) bahkan lebih dari itu orang yang hasad sangat bahagia dan senang bila saudaranya celaka dan binasa.

3. Ada dalam sifat hasad ini ketidak sukaan terhadap taqdir yang Allah berikan kepadanya, sebab siapa yang memberikan nikmat kepada orang lain tersebut? Tentu saja Allah. Seakan-akan ia ingin ikut berperan aktif dalam penentuan takdir Allah dengan merasa bahwa ia lebih pantas mendapatkan nikmat tersebut dari orang lain.

4. Setiap orang lain mendapatkan kenikmatan, semakin besar dan kuat api hasad dalam dirinya, sehingga ia selalu penasaran dan duka serta hatinya terbakar api hasad tersebut.

5. menimbulkan sekap egois yang tinggi dan tidak menyukai kebaikan pada orang lain

6. Hasad memakan dan melumat kebaikan yang dimilikinya sebagaimana api memakan dan melumat kayu bakar yang kering. Ini yang dinyatakan Rasululloh dalam sabdanya:
Jauhkanlah (oleh kalian) dengki (hasad) karena ia akan memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar (riwayat Abu daud)

7. menyusahkan diri sendiri sebab ia tidak mampu merubah sedikitpun takdir Allah. Allah telah memberikan nikmat pada orang lain dan tidak akan tercegah dan terhalangi oleh ulah orang yang hasad tersebut. Walaupun ia telah berusaha dengan mencurahkan seluruh kesungguhan dan kemampuannya tidak akan mungkin merubah takdir Allah yang sudah ditetapkan. Sehingga semua usahanya hanyalah sia-sia belaka.

8. hasad mencegah pemiliknya dari berbuat amal kebaikan dan kemanfaatan. Hal ini karena ia selalu sibuk dengan memikirkan dan melihat milik orang lain sehingga seluruh hidupnya hanya untuk memikirkan bagaimana datangnya kenikmatan pada orang lain dan bagaimana cara menghilangkannya.

9. hasad dapat memecah persatuan, kesatuan dan persaudaraan kaum muslimin. Memang demikian, karena itulah Rasululloh bersabda:
Janganlah saling hasad dan berbuat najasy dan janganlah saling bermusuhan serta saling mendiamkan dan jadilah kalian bersaudara. (riwayat Muslim)

10. hidupnya tidak pernah tenang dan tentram, apalagi bahagia. Orang yang hasad selalu dalam keadaan gundah gulana dan resah melihat orang lain lebih darinya. Padahal mesti ada orang ;ain yang memiliki kelebihan darinya.
Oleh karena itu, Rasululloh melarang kita melakukan perbuatan hasad ini.
Alangkah mengerikan bahaya dan kerusakan yang timbul dari dengki (hasad) ini. Oleh karena itu marilah kita berusaha menanggalkan dan menghilangkannya dari diri kita.

10 Kiat menghindari dan mencegah sifat Hasad.
Setelah mengetahui bahayanya, tentunya kita harus berusaha menghindari dan manjauhkan diri dari sifat yang satu ini. Untuk itu perlu melihat kiat-kiat berikut ini:

1. Belajar dan memahami aqidah islam yang benar, baik tentang keimanan ataupun syari’at serta nmengamalkannya. Kebenaran aqidah merupakan sumber segala perbaikan dan kebaikan. Hal ini dilakukan dengan terus senantiasa menggali isi kandungan Al Qur’an dan Hadits.

2. memahami dengan benar konsep takdir menurut syari’at Islam, sehingga faham kalau segala kenikmatan dan rizqi serta yang lainnya tidak lepas dari ketentuan takdir Allah. Dengan memahami ini diharapkan tidak timbul dalam diri kita rasa iri dan dengki terhadap orang lain, karena tahu itu semua tidak lepas dari ketetapan takdir Allah.

3. meyakini dengan benar dan kokoh bahwa semua kenikmatan tersebut berasal dari Allah dan diberikan kepada setiap orang sesuai dengan hikmah yang diinginkanNya. Sebab tidak semua kenikmatan yang Allah berikan kepada orang lain itu baik untuknya.

4. membersihkan hati dengan berusaha mengamalkan seluruh syari’at islam.

5. memandang dunia dengan segala perhiasannya sebagai sesuatu yang akan punah dengan cepat dan sesuatu yang tidak seberapa dibanding akherat. Demikian juga memandang tujuan akhir kehidupannya adalah akherat yang kekal abadi, sebagaimana firman Allah:
Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman di bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanam-tanamannya) laksana tanam-tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berfikir. Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam). (QS. 10:24-25)

6. selalu mengingat bahaya hasad bagi kehidupan dunia dan akheratnya.

7. selalu mencanangkan dalam hatinya kewajiban mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cinta untuk dirinya, sehingga tidak merasa panas melihat saudaranya lebih baik darinya dalam permasalahan dunia. Rasulullah bersabda:
Tidaklah seorang dari kalian sempurna imannya sampai mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya (Mutafaqun Alaihi)

8. berusaha memenuhi hak-hak saudaranya sesama muslim dan mencari teman baik yang mengingatkan dan menasehatinya.

9. selalu mengingat kematian dan pembalasan Allah atas kedzoliman dan kerusakan yang ditumbulkan hasad tersebut.

10. mengingat keutamaan zuhud dan lapang dada terhadap nikmat yang Allah anugrahi kepada orang lain serta kewajiban bersyukur terhadap nikmat yang dianugrahkan kepadanya. Sebab semua ini akan menimbulkan sifat qana’ah dan kaya diri. Sifat qana’ah dan kaya diri ini yang akan membawanya kepada sifat iffah dan takwa. Rasululoh bersabda:
mudah-mudahan dengan selalu berusaha menjauhi dan meninggalkan sifat hasad ini kita semua dimudahkan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akherat.

Bahasa Allah

Ketika kecil, kita sering mendengar dari orang tua berbagai kisah yang menggambarkan tentang keadilan Allah SWT. Di antara kisah itu diceritakan ada seorang yang pernah meragukan keadilan Allah ketika membandingkan buah semangka dan beringin. Mengapa pohon semangka itu kecil, padahal buahnya besar -- sedang beringin sebaliknya? Ketika orang itu sedang asyik mengamati 'ketidak-adilan' pada pohon beringin itu, tiba-tiba beberapa buah pohon beringin jatuh dan mengenai kepalanya.

Seketika itu ia langsung beristighfar, ''Allah Mahaadil. Coba seandainya buah beringin sebesar semangka, tentu muka saya sudah hancur.'' Sebelum mengakhiri cerita itu, orang tua kita lalu menyimpulkan bahwa itulah cara Allah memperingatkan hamba-Nya. Orang tadi beruntung karena cepat menyadari kekeliruan jalan pikirannya terhadap keadilan Allah. Ia peka akan 'tanda-tanda' alam sebagai 'bahasa' Tuhan yang mengingatkan kesalahan pandangannya.

Tanda-tanda alam sebagai 'bahasa' Tuhan sesungguhnya tidak hanya terdapat pada kisah orang tua kita di atas. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sering mendapatkan berbagai peringatan dari 'bahasa' Allah itu. Dalam sejarah Islam, misalnya, 'bahasa' Allah untuk memberitahukan kepada manusia tentang kerasulan Muhammad saw, ditunjukkan dengan beraraknya awan yang selalu menaungi beliau ke mana pergi. Banyak rabbi Yahudi, antara lain Buhaira, masuk Islam setelah membaca 'bahasa' Allah tersebut.

Barangkali, kita juga sering diingatkan Allah akan kekeliruan langkah dan perilaku kita dengan bahasa-bahasa alam semacam itu. Tapi, karena kita kurang peka, peringatan-peringatan tersebut sering kita abaikan hingga akhirnya kita terkena bencana.

Sesungguhnya Allah masih terus mengingatkan hamba-hamba-Nya dengan bahasa-bahasa alam. Ketika kita menyaksikan sepotong daun yang layu dan jatuh, itu sesungguhnya 'bahasa' Allah untuk mengingatkan kita bahwa pada saatnya kedudukan daun yang terletak pada setiap bagian pohon akan lengser juga.

Ibn Al-Arabi memandang alam sebagai simbol-simbol eksistensi Tuhan. Karena itu, kejadian sehari-hari di alam bisa merupakan 'perumpamaan' dari 'bahasa' Allah. Alquran menjelaskan, ''Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun bagi orang yang beriman, mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. Tapi mereka yang kafir mengatakan, ''Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?'' Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah dan dengan perumpamaan itu banyak pula yang diberi petunjuk ... (Al-Baqarah: 26).

Saat ini, di zaman reformasi, 'bahasa' Allah tak hanya ditunjukkan melalui bahasa-bahasa alam yang halus, tapi melalui 'bahasa-bahasa' manusia yang nyata dan terang benderang. Lihat saja, betapa banyak penguasa dan hartawan yang dulu sangat dihormati dan disembah-sembah, tiba-tiba kini dicemooh orang. Itu semua terjadi karena mereka tak mau memperhatikan 'bahasa' Allah yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Waspadai Fatamorgana Dunia

“Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun. Sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka janganlah sekali-kali kehidupan dunia memperdayakan kamu, dan jangan (pula) penipu (syaitan) memperdayakan kamu dalam (menaati) Allah.” (QS. Luqman [31]: 33)

Kehidupan dunia hanya kesenangan sementara, namun banyak yang tidak selamat pada jebakan itu. Nafsu menjadi pengendali hidupnya, hingga tidak pernah ada kepuasan atas apa yang dimiliki. Semua selalu kurang dalam pandangannya.

Mengapa hanya karena untuk memenuhi kebutuhan dunia, manusia rela mengorbankan waktu, tenaga, fikiran? Seolah-olah dunia adalah segalanya? Penyebabnya karena dunia dianggap penting! Semakin orang menganggap penting suatu perkara, maka semakin besar pula pengorbanan untuk mencapai hal tersebut. Demikian pula dengan kehidupan duniawi, hingga ibadah pun biasa saja, sekadar luput dari kewajiban.

Sebagai contoh, banyak orang menunda panggilan muadzin untuk bersegera melakukan shalat, hanya karena rapat belum selesai. Itu terjadi karena rapat dianggap lebih penting daripada shalat. Betapa sombongnya kita seolah-olah kehidupan ditentukan oleh kita lewat rapat tersebut. Seolah-olah tahu yang akan terjadi, dan semuanya tergantung pada ikhtiar kita. Padahal, segala sesuatu itu terjadi mutlak kehendak Allah yang Maha Menentukan.

Banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada ikhtiar, ilmu, tenaga dan kecerdasannya, lupa kepada sang Maha Pemberi Segalanya. Kejayaan dunia, harta dan tahta menjadi tolak ukur kemuliaan dalam hidup. Hatinya telah tertutup dengan silaunya dunia, sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-baqarah [2]: 212): “Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertakwa itu lebih mulia daripada mereka di hari kiamat. Dan Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.”

Cukuplah Allah segala-galanya bagi kita, Ia Maha Tahu yang terbaik bagi kita. Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Kasih dan Sayang. Insya Allah, bagaimanapun banyaknya masalah yang dihadapi namun bagi orang yang hatinya sudah mantap kepada Allah, tidak ada gentar ataupun takut. Allah telah memberikan ketenangan hati padanya dan solusi dari jalan yang tidak disangka-sangka serta dibukakan hikmah dari setiap kejadian. Semoga kita selalu mendekatkan diri kepada-Nya dan menjadi pecinta Allah sejati.

Penghuni Surga, yang Belum Pernah Mendirikan Sholat

“Hidup terlalu mahal untuk dibiarkan seperti air mengalir”

Bukit Uhud, baru saja menyaksikan kecamuk peperangan yang sangat dahsyat. Pertempuran besar-besaran kaum muslimin dan pasukan kafir Quraisy, baru saja usai dana meninggalkan keheningan mencekam. Para sahabat Rasulullah saw yang masih hidup melakukan penyisiran, memeriksa jasad pasukan Muslim yang banyak berjatuhan. Mereka memeriksa jasad-jasad itu satu persatu, sambil berusaha mengenali mereka. Kesediahan merambat dalam hati kaum muslimin. Diiringi desir angina di lembah Uhud, dan sesekali teriakan para pejuang yang terluka masih hidup, mereka mendapati banyak para sahabat yang gugur dalam peperangan itu.

Tiba-tiba terdengar teriakan yang membuat sebagian sahabat terkejut. “Ushairam, ini Ushairam…! Sejumlah orang berteriak terkejut melihat tubuh seorang yang mereka juluki Ushairam bergeletak bersimbah darah. Ushairam masih hidup. Tapi nafasnya tersengal-sengal. Luka di tubuhnya terlalu banyak mengeluarkan darah. Mereka terkejut, karena Ushairam tergeletak di temapat pasukan islam? Para sahabat bertanya, “Ushairam, kenapa berada disini? Apakah engakau memata-matai untuk kaummu atau karena menerima Islam?” Dengan bicara yang tersendak-senda, Ushairam berusaha menjelaskan, “Aku telah menerima Islam… aku beriman pada Allah dan Rasul-Nya… aku ambil pedangku dan aku berperang bersama Rasulullah…” belum usai menuntaskan perkataannya. Ushairam menghmbuskan nafasnya yang terakhir. Para sahabat lalu mengadukan peristiwa ini kepada Rasulullah saw. Rasulullah saw menjawab dengan kalimat pendek yang begitu indah. “Ushairam termasuk ahli surga.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hajar dalam Tamyizus Shahabah2/526)

Ushairam, adalah julukan dari Amr bin Tsabit AlAsyhali Al Anshary ra. Ia keponakan sahabat Rasulullah saw saat hijrah ke Thaif, Khudzaifah bin Yaman ra. Mungkin sangat jarang mendapati atau mendengar nama ini disebut. Tapi dia adalah satu-satunya sabhabat Rasulullah yang mendapat predikat, ‘Penghubi Surga yang belum perna melakukan shalat’.

Kisah tentang Ushairam disebutkan oleh Abu Hurairah. Bahwa sejak Rasulullah mendakwahkan Islam, Ushairam sudah kerap diajak oleh kaum Muslimin untuk menerima agama Allah swt. Tapi Ushairam selalu mengatakan, “Kalau aku tahu apa yang kalian sampaikan itu adalah kebenaran aku pasti tidak akan menunda-nunda untuk mengitu kalian.” Itu saja yang dia ucapkan.

Sampai ketika detik-detik menjelang berkorbarnya perang Uhud. Allah swt memberi hidayah keimanan yang begitu kuat dalam hatinya. Ia tiba-tiba terlecut untuk bangkit mengangkat pedang dan segera menghela kudanya menghadap Rasulullah saw. Ushairam dengan tegas mengucapkan dua kalimat syahadat dan menyatakan dirinya masuk islam. Tak lama setelah itu, Ushairam sudah bergabung bersama pasukan islam lainnya sebagai pasukan Uhud. Banyak para sahabat yang belum mengetahui status keislamannya saat itu. Dalam peperangan Uhud, tubuh Ushairam tercabik-cabik. Ia pun akhirnya tersungkur setelah puluhan tebasan pedang, tombak dan panah yang bersarang di tubuhnya.

Betapa mulia dan bahagianya Ushairam saat ini. Berada di tman-taman surga. Meski belum sempat melakukan shalat satu kalipun dalam hidupnya. Tapi secepat ia memilih jalan Allah, secepat ia menuntaskan persembahan hidupnya di jalan Allah, secepat itulah perjalanannya menuju surga.

Ushairam telah berhasil melakukan revisi besar dalam hidupnya. Dan langkah revisi yang ia lakukan itu benar-benar membuahkan hasil yang sangat di dambakan semua orang, termasuk kita. Perjalanan hidup seseorang di suatu masa, memang tak menjadi ukuran apapun bahwa ia akan menjadi seperti apa di masa yang lain. Sepotong episode hidup seseorang di suatu waktu, tak pernah menjadi ukuran bahwa ia juga akan menjadi orang yang sama dengan episode hidupnya di masa tertentu. Ushairam adalah contohnya. Langkah perubahan yang ia lakukan begitu cepat mengantarkan pada posisi mulia.

Apa yang dilakukan Ushairam adalah pelajaran besar untuk kita, bahwa kita harus mempunyai waktu untuk segera merespon perubahan-perubahan dalam hidup ini. Merevisi hidup, merupakan perkara besar. Maka seseorang harus memiliki target dan ukuran revisi yang sudah jelas kebenarannya. Revisi selalu membutuhkan pengorbanan besar, mungkin juga rasa sakit. Ini jika kita harus merevisi dan merubah sesuatu yang buruk menjadi baik. Termasuk meninggalkan suatu kebiasaan buruk, mebuang tradisi buruk yang mungkin sudah dilakukan berulangkali dan kita merasakan kenikmatan sendiri melakukan keburukan itu.

Untuk membuang dan merevisi kebiasaan seperti itu , pasti tidak mudah. Karena seseorang harus siap menanggung kesulitan bahkan rasa sakit, untuk mengubahnya. Seperti perkataan Muhammad Natsir, “Sejarah telah menunjukkan, tiap-tiap bangsa yang telah menempuh ujian hidup yang sakit dan pedih, tapi tidak putus bergiat menentang marabahaya, berpuluh, bahkan beratus tahun lamanya, pada suatu masa akan mencapai satu tingakat kebudayaan yang sanggup memberikan penerangan kepada bangsa lain.”

Betapa banyak orang yang cenderung mau memeriksa perjalanannya lalu merevisi hidupnya. Sampai hidupnya perlahan terus di gerogoti usia, sampai jasadnya terus menerus dimakan waktu yang tak pernah berhenti. Hingga akhirnya ia tak mampu lagi melakukan perubahan yang berarti karena renta, atau karena usianya memang sudah selesai waktunya. Betapa banyak diantara kita yang tidak peduli dengan perguliran waktu, dan membiarkan hidupnya berjalan seperti air, tanpa target, tanpa terencana, tanpa tujuan yang jelas. Hingga hidupnya terjebak pada situasi yang tak memungkinkannya lagi berubah arah. Betapa banyak di antara kita, orang yang membiarkan kehidupannya berlalu dengan produktifitas kebaikan yang rendah, sementara orang-orang lain telah memiliki saham kebaikan di mana-mana. Hidupnya berlalu begitu saja. Dan berakhir begitu saja.

Hidup terlalu mahal untuk dibiarkan seperti air mengalir. Hidup harus direncanakan, diarahkan dan dipelihara sedemikian rupa agar tujuan hidup benar-benar tercapai. Hidup harus pula direvisi, dibenahi, dirubah jika perlu dan memang hidup mengalami perubahan. Seperti UShairam yang mengaetahui titik revisi yang harus ia jalani. Yang secepat kilat telah mengetahui jalan yang ia pilih, lalu ia mempersembahkan dirinya untuk jalan kebaikan yang menjadi pilihannya itu. Agar hidup ini bisa seiring sejalan dengan semakin bartambahnya amal-amal shalih yang menjadi alurnya. Sampai seperti apa yang dikatakan Usman bin Affan ra, “Tak ada kecintaan padaku pada perguliran hari dan malam, kecuali aku menemui Allah dengan membaca Mushaf.”

Hidup untuk Ibadah


Tuhan menciptakan manusia dan jin semata2 hanya untuk menyembahNya. karenanya apapun jalan hidup yang di pilihkan tuhan (ditakdirkan.red) manis maupun pahit harus kita jadikan sebagai sarana ibadah kita kepada Alloh. Kenikmatan hidup harus kita syukuri, kepahitan pun harus kita jadikan rasa syukur pula, karena kalau kita bisa merasakan pahit berarti sebelumnya Dia sudah pernah memberikan kesempatan pada kita untuk bisa merasakan kemanisan hidup, kita tak akan pernah tahu hidup ini pahit kalau sebelumnya kita belum pernah merasakan manis. Maha Adil Tuhan dan maha pintar Dia untuk menganugerahkan satu materi ujian pada hamba2Nya agar bisa lebih tinggi derajatnya dengan jalan memberikan kepahitan hidup, dari pahitnya hidup kita bisa semakin dewasa, semakin tegar, bahkan bisa semakin selalu dekat denganNya, semakin mulia, tentu semua itu bisa kita dapatkan kalau pada saat kita dalam menjalaninya bisa lebih jeli menangkap hikmah2 yg terkandung didalamnya, tapi bukan tidak mungkin banyak pula manusia yang dalam kepahitan malah semakin terperosok ke jurang kekufuran (ma’azdallah) karena dia terlalu enggan untuk menyingkap tabir hikmah yang ada di dalamnya… bahkan menyalahkan sang pencipta… kalau kita bisa lebih teliti lagi, sebenarnya kegagalan, kepahitan, keterpurukan hidup adalah kita sendiri yg menciptanya, kita tak mau mendengar pesan2 dari Tuhan yang dibisikkan lewat nurani kita, kepentingan & kekeruhan duniawi membuat matahati kita buta.
Hidup ini adalah satu2nya sarana kita bisa meraih ridlo Nya, karena hidup adalah ibadah, sepahit apapun hidup yang kita rasakan nikmatilah, jalanilah dengan selalu merasa syukur, daripada kita selalu berkeluh kesah malah menambah pahit hati, lebih baik kita menikmatinya, toh hidup di dunia ini hanya sementara, bukankah kehidupan abadi kelak di ahirat ?!, jadi jangan nodai kehidupan abadi kelak dengan kebodohan2 kita dalam menjalani kehidupan sementara ini. Berharaplah seraya berdoa, semoga kepahitan hidup yang kita jalani sekarang merupakan satu tiket untuk kita bisa memasuki kenikmatan di kehidupan abadi kelak, amin…
Dalam menjalani hidup jangan pernah mengharap apapun pada selainNya, jika tidak, niscaya kita akan banyak merasakan kekecewaan, karena manusia penuh potensi untuk berhianat, berbuat salah, hilaf, dosa dan segala bentuk kekeruhan hati, walaupun kita sudah berusaha semaksimal mungkin menjadi yang terbaik baginya, cobalah sejenak kita merenung dengan kejernihan hati… pernahkah Tuhan sedetikpun berbuat seperti itu pada kita, bahkan kalau kita berhianat kepadaNya sekalipun?!, bukankah kita masih selalu bisa merasakan anugerah kenikmatan dariNya ?!, jadi hanya Dialah satu2nya yang pantas kita jadikan sandaran hati, sandaran hidup & tujuan hidup kita. Menjadi sosok apapun kita, diwujudkan menjadi seorang apapun kita, jadilah yang terbaik, jangan pernah pedulikan balasan yang kita terima dari pasangan kita misalnya, orang tua kita, suami, anak ataupun teman kita. bukankah kita berusaha menjadi baik karena Tuhan, untuk Tuhan bukan untuk siapapun selain Nya, karena Dia tak akan pernah buat kita kecewa dan merana… bersamaNya hati kita selalu damai, walau terasa gersang disekitar kita, bersandar padaNya menjadikan manusia tegar di terjang sehebat apapun gelombang badai kehidupan dunia.
Hidup adalah sarana ibadah, maka berusahalah menjadi yang terbaik di sisi orang-orang yang mengelilingimu, tanpa pernah mengharap balasan perbuatan baikmu dari mereka, kita berbuat baik bukan karena mereka tapi karena Tuhan, hanya Dialah satu2nya Dzat yang patut kita harapkan kebaikannya karena Dia Dzat yang maha baik. Semoga kita selalu diberi petunjuk dari Nya untuk selalu menjadi manusia yang baik dan selalu di anugerahi kekuatan untuk tetap konsisten dalam menjalani kebaikan disisiNya, bersamaNya dan bagiNya, amin Allohumma amin…. *)

Rabu, 16 Juni 2010

AL-QUR’AN PENYEJUK QOLBU

Ketahuilah, Al-Qur’an itu mengandung obat segala penyakit qolbu (hati). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Wahai manusia, telah datang kepada kalian mauidzhoh (pelajaran) dari Rabb kalian, dan penyembuh apa yang ada dalam hati.” (QS. Yunus : 57).

“ Dan kami turunkan dari Al-Qur’an ini sesuatu yang merupakan penyembuh dan rahmat bagi orang-orang mu’min.” (QS. Al-Isro’ : 82).

Segala penyakit qolbu itu bermuara pada syubhat (kesamaran pemahaman, ed.) dan syahwat (hawa nafsu), dan Al-Qur’an adalah dapat menyembuhkan keduanya.

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah mengatakan bahwa Al-Qur’an mencakup obat dan rahmat. Dan itu bukan untuk setiap orang, tetapi hanya untuk orang-orang yang beriman (mu’min) yang beriman dengan Al-Qur’an, membenarkan ayat-ayat-Nya dan mengetahui makna-maknanya.

Adapun orang-orang dzalim yang tidak membenarkan atau mengamalkannya, maka ayat-ayat Al-Qur’an itu tidak menambah kepada mereka kecuali kerugian….Maka penyembuhan Al-Qur’an itu mencakup penyembuhan Qolbu dari syubhat, kebodohan, pemikiran-pemikiran yang rusak, penyelewengan dan maksud-maksud (keinginan) yang jelek….Juga mencakup kesembuhan jasmani dari berbagai penyakit.” (Lihat Tafsir As-Sa’di, hal. 465).

Penyakit Syubhat atau kerancuan pemikiran, keragu-raguan terhadap ajaran Islam, ataupun munculnya ajaran-ajaran sesat yang menyelinap dalam qolbu seseorang, tentu menimbulkan sakit walaupun terkadang tidak dirasakan oleh yang bersangkutan. Penyakit subhat ini akan mengakibatkan rusaknya ilmu, penilaian dan pemahaman, sehingga seseorang tidak dapat menilai sesuatu sesuai dengan hakekatnya.

Itu semua dapat disembuhkan dengan Al-Qur’an karena di dalamnya terdapat keterangan dan bukti-bukti nyata lagi pasti. Al-Qur’an menerangkan tauhid, menetapkan adanya hari kebangkitan, dan adanya kenabian, serta membantah pendapat-pendapat yang sesat dan ajaran yang menyimpang.

Al-Qur’an menerangkan semua itu dengan sebaik-baik keterangan, menjelaskannya dengan sejelas-jelas penjelasan, sangat bagus dan indah tiada yang menandingi, mudah di pahami dan di cerna oleh akal. Al-Qur’an merupakan obat hakiki untuk menyembuhkan penyakit-penyakit qolbu.

Sebagai contoh pengalaman seorang pakar filsafat yaitu Al-Fahrurrozi, yang telah mencapai tingkatan paling tinggi di masanya dalam ilmu filsafat. Namun filsafat ternyata sebuah penyakit ganas pada qolbu seseorang yang hanya menimbulkan keraguan pada I’tiqad (keyakinan) seorang muslim lalu menimbulkan kegelisahan pada qolbunya sebagaimana dikatakan bahwa “akhir keadaan ahli filsafat adalah keraguan”.

Ia menyatakan dengan penuh kesadaran : “Saya perhatikan teori-teori ilmu kalam dan metodologi filsafat, saya nilai tidak mampu mengobati orang sakit dan menghilangkan dahaga. Saya melihat jalan yang paling dekat adalah jalan Al-Qur’an ….Dan barang siapa yang mencoba seperti percobaanku, maka ia akan mengetahui sebagaimana yang aku ketahui.”

Penyembuhan dengan Al-Qur’an tergantung pada pemahaman terhadap Al-Qur’an itu sendiri dan pengetahuan terhadap makna-maknanya. Orang yang Allah beri pemahaman, mata hatinya akan melihat yang haq dan yang bathil dengan begitu jelas sebagaimana ia melihat perbedaan siang dan malam.

Adapun penyakit qalbu berupa syahwat dan keinginan hawa nafsu, niat-niat yang rusak, iri, dengki, tamak dan sebagainya. Al-Qur’anpun penuh dengan obat penyakit ini karena di dalamnya terkandung mutiara-mutiara hikmah, nasehat-nasehat yang indah, memberi semangat untuk kebaikan, mengancam dari perbuatan jelek dan mengajak untuk juhud. Al-Qur’an memberikan perumpamaan dan kisah-kisah yang menyiratkan berbagai ibrah (pelajaran) sehingga membuat qolbu mencintai kebenaran dan membenci kesesatan, selalu memiliki keinginan kepada yang baik dan kembali kepada fitrahnya yang suci.

Dengan qolbu yang seperti itu, maka perbuatannya menjadi baik dan dia tidak menerima kecuali yang haq, bagaikan seorang bayi, tidak menerima makanan selain susu. Qolbunya mendapat gizi keimanan dari Al-Qur’an, sehingga menguatkan dan menumbuhkannya, menyenangkan dan membuatnya giat, sehingga menjadikannya semakin kokoh.

Qolbu membutuhkan segala sesuatu yang memberinya manfaat dan melindunginya dari mudharat (bahaya) sebagaimana jasmani membutuhkan segala sesuatu yang memberinya manfaat dan melindunginya dari mudharat. Dengan itu ia akan berkembang menuju kesempurnaan. Tiada jalan menuju kepada kesempurnaan qolbu kecuali dengan Al-Qur’an. Kalaupun ada jalan yang lain, maka itu sangat sedikit dan tidak akan mencapai kesempurnaan.
Wallahu a’lam.

Diringkas dari tulisan Al-Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyyah dalam kitab Ighotsatul Lahfan.

Rugilah yang membaca Al-Quran tetapi tidak mengamalkan kandungannya

Suatu malam Rasulullah SAW berbisik kepada Aisyah Ra: "Apakah kamu rela pada malam giliranmu ini aku beribadah?".
Jawab aisyah, "Aku sungguh senang berada di sampingmu ya Rasulullah, tetapi akupun rela dengan apa yang engkau sukai."Rasulullah kemudian bangkit untuk berwudhu lalu beliau sholat sambil menangis tersedu sedu sampai membasahi lantai.
"Tidak biasanya Rasul terlambat ke masjid untuk sholat subuh. Ada apakah gerangan yang terjadi?" Bertanya Bilal. Maka kemudian didatanginya Rasul dan ditemuinya beliau masih dalam keadaan menangis. "Wahai Rasulullah, bukankah Allah telah mengampuni dosamu?".

"Betapa aku tidak menangis, semalam telah turun kepadaku wahyu: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam terdapat tanda tanda bagi orang yang berakal. Yaitu orang orang yang mengingat Allah diwaktu berdiri, duduk dan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: "Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia sia, Maha suci Engkau Allah, peliharalah kami dari siksa neraka."
Rasulullah kemudian berkata kepada Bilal, "Rugilah yang membaca Al-Quran tetapi tidak mengamalkan kandungannya."

Noda Yang Menghancurkan Ibadah

June 14, 2010
Banyak orang beranggapan bahwa kualitas ibadah hanya ditentukan oleh syarat, rukun, dan kekhusyukan dalam pelaksanaannya. Misalnya, sholat yang berkualitas adalah yang didahului oleh wudhu yang benar, suci pakaian dan tempatnya, serta khusyuk dalam melakukan setiap rukunnya. Demikian pula dengan ibadah-ibadah yang lain.


Saad bin Abi Waqqash RA bertanya kepada Rasulullah SAW tentang rahasia agar ibadah dan doa-doanya cepat dikabulkan. Rasulullah SAW tidak mengajari Sa’ad tentang syarat, rukun, ataupun kekhusyukan. Rasulullah SAW mengatakan, "Perbaikilah apa yang kamu makan, hai Sa’ad." (HR Thabrani).


Ada sindiran yang hendak disampaikan Rasulullah SAW lewat hadis di atas.Yaitu, bahwa kebanyakan manusia cenderung memperhatikan ‘kulit luar’, tapi lupa akan hal-hal yang lebih penting dan fundamental.


Setiap Muslim pasti mengetahui bahwa sholat atau haji mesti dilakukan dengan pakaian yang suci. Pakaian yang kotor akan menyebabkan ibadah tersebut tidak sah atau ditolak. Namun, betapa banyak di antara kaum Muslim yang lupa dan lalai bahwa makanan yang diperoleh dari cara-cara yang kotor juga akan berakhir dengan ditolaknya ibadah dan munajat kita.


Rasulullah SAW telah mengingatkan, "Demi Dzat Yang menguasai diriku, jika seseorang memakan harta yang haram, maka tidak akan diterima amal ibadahnya selama 40 hari." (HR Thabrani).


Dalam hadist lain yang dinukil Ibnu Rajab al-Hanbali, Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang di dalam tubuhnya terdapat bagian yang tumbuh dari harta yang tidak halal, maka nerakalah tempat yang layak baginya."


Di sinilah terlihat dengan jelas, hubungan antara kualitas ibadah dan sumber penghasilan. Bahkan, karena ingin memastikan bahwa semua yang dimakan berasal dari sumber yang halal, para Nabi dan Rasul menekuni suatu pekerjaan secara langsung untuk menghidupi diri dan keluarga mereka.


Nabi Daud a.s adalah seorang penempa besi dan penjahit, Nabi Zakaria a.s seorang tukang kayu, Rasulullah SAW adalah seorang pedagang, dan seterusnya. Demikian pula dengan para sahabat yang mulia; majyoritas kaum Muhajirin berkerja sebagai pedagang, sementara kaum Ansar mengendalikan hidupnya dari pertanian.


Selain daripada itu, ketika seseorang bergelimang dengan harta yang haram, dan dia menafkahi keluarganya dengan harta tersebut, sebenarnya ia tidak hanya menodai ibadahnya sendiri. Tapi, juga menodai ibadah dan masa depan anak-isterinya.

Seperti komentar Syekh ‘Athiyah dalam Syarh al-Arbain an-Nawawiyah, "Orang tua seperti itu secara sengaja membuat ibadah dan doa anak-anaknya tertolak. Sebab, ia menjadikan tubuh mereka tumbuh dari harta yang haram."


Wa Allahu a’lam

Adam menurut Islam

Adam hidup selama 930 tahun setelah penciptaan (sekitar 3760-2830 SM), sedangkan Hawa lahir ketika Adam berusia 130 tahun. Al-Quran memuat kisah Adam dalam beberapa surat, di antaranya Al-Baqarah [2]:30-38 dan Al-A’raaf [7]:11-25. Ia mendapat gelar dari Allah dengan gelar Safi Allah.

Menurut ajaran agama Samawi, anak-anak Adam dan Hawa dilahirkan secara kembar, yaitu, setiap bayi lelaki dilahirkan bersamaan dengan seorang bayi perempuan (kembar). Adam menikahkan anak lelakinya dengan anak gadisnya yang tidak sekembar dengannya.

Menurut Ibnu Humayd, Salamah, Ibnu Ishaq, anak-anak Adam adalah: Cayn dan saudara perempuannya, Abel dan Labuda, Ashut dan saudara perempuannya. Seth dan Hazura, Ayad dan saudara perempuannya, Balagh dan saudara perempuannya, Athati dan saudara perempuannya, Tawbah dan saudara perempuannya, Darabi dan saudara perempuannya, Hadaz dan saudara perempuannya, Yahus dan saudara perempuannya, Sandal dan saudara perempuannya, Baraq dan saudara perempuannya. Total keseluruhan anak Adam sejumlah
40 anak kembar.

Genealogi

Syits/Seth kembar Azura
Habil/Abel kembar Labuda/Abudah
Qabil/Qhabil kembar Qalima/Iqlima

Ibnu Abi Hatim dari Urwah bin Al Zubayr bahwa Wadd, Suwa, Yaghuth, Ya’uq dan Nasr adalah termasuk anak Adam. Wadd adalah yang tertua dari mereka dan yang paling saleh di antara mereka.
Wujud Adam

Menurut hadits Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Adam memiliki postur badan dengan ketinggian 60 hasta (kurang lebih 27,432 meter).[2] Hadits mengenai ini pula ditemukan dalam riwayat Imam Muslim dan Imam Ahmad, namun dalam sanad yang berbeda.[3]

Menurut ajaran Islam, Adam adalah manusia sempurna, berjalan tegak dengan kedua kakinya, berpakaian yang menutup aurat, berbahasa fasih dengan jutaan kosa kata. Dia adalah seorang nabi yang menerima wahyu dari Allah serta syariat khusus untuk manusia saat itu.

Sosok Adam digambarkan sangat beradab sekali, memiliki ilmu yang tinggi dan ia bukan makhluk purba. Ia adalah makhluk penghuni surga yang penuh peradaban maju. Turun ke muka bumi bisa dikatakan sebagai alien dari sebuah peradaban yang jauh lebih maju dan jauh lebih cerdas. Karena itulah disebut sebagai `khalifah` di muka bumi dan ia dikatakan jenis makhluk terbaru di muka bumi yang sebelumnya belum pernah ada.

Dalam gambarannya ia adalah makhluk yang teramat cerdas, sangat dimuliakan oleh Allah, memiliki kelebihan yang sempurna dibandingkan makhluk yang lain dan diciptakan dalam bentuk yang terbaik. Sesuai dengan Surah Al Israa' 70, yang berbunyi:“ Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan (Al Israa' 17:70) ”


Dalam surah At-Tiin ayat 4 yang berbunyi:“ sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (At Tiin 95:4) ”


Bahkan konon, dahulu ketika baru selesai diciptakan, seluruh malaikat bersujud kepadanya atas perintah Allah, lantaran kecerdasannya itu. Kecerdasannya menjadikannya makhluk yang punya derajat amat tinggi di tengah makhluk yang pernah ada. Sama sekali berbeda jauh dari gambaran manusia purba-nya Charles Darwin, yang digambarkan berjalan dengan empat kaki dan menjadi makhluk purba berpakaian seadanya.
Makhluk sebelum Adam

Menurut syariat Islam, manusia tidak diciptakan dibumi, tapi manusia dijadikan khalifah (pengganti/penerus) di bumi, sebagai makhluk pengganti yang tentunya ada makhluk lain yang di ganti, dengan kata lain adalah Adam 'bukanlah Makhluk Pertama' dibumi, tetapi ia adalah 'Manusia Pertama' dalam ajaran Agama Samawi, dan Allah tidak mengatakan untuk mengganti manusia sebelumnya, tapi pengganti makhluk yang telah membuat kerusakan dan menumpahkan darah dibumi.

Sebelum kehadiran manusia telah banyak umat yang terdiri malaikat, jin, hewan, tumbuhan dan sebagainya, karena dalam Al-Qur'an ciptaan Allah disebut juga dengan kata umat. Sesuai dengan salah satu surah Al An'aam 32, yang berbunyi:“ Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. (Al An'aam 6:32)
Arkeologi

Dari ayat Al-Baqarah 30, banyak mengundang pertanyaan, siapakah makhluk yang berbuat kerusakan yang dimaksud oleh malaikat pada ayat diatas. Dalam literatur Arkeologi, berdasarkan fosil yang ditemukan, memang ada makhluk lain sebelum manusia. Mereka nyaris seperti manusia, tetapi memilki karakteristik yang sangat primitif dan tidak berbudaya.

Volume otak mereka lebih kecil dari manusia, oleh karena itu, kemampuan mereka berbicara sangat terbatas karena tidak banyak suara vowel yang mampu mereka bunyikan. Kelompok makhluk ini kemudian dinamakan oleh para arkeolog sebagai Neanderthal.

Sebagai contoh Pithecanthropus Erectus memiliki volume otak sekitar 900 cc, sementara Homo sapiens memiliki volume otak diatas 1000 cc (otak kera maksimal sebesar 600 cc). Maka dari itu bisa diambil kesimpulan bahwa semenjak 20.000 tahun yang lalu, telah ada sosok makhluk yang memiliki kemampuan akal yang mendekati kemampuan berpikir manusia pada zaman sebelum kedatangan Adam.
Penafsir Al-Qur'an dan Hadits

Dikatakan dalam Al-Qur'an bahwa sebelum kehadiran Adam ada makhluk yang telah berbuat kerusakan dimuka bumi, tetapi makhluk itu bukanlah sejenis manusia, melainkan sejenis bangsa Jin yang dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu Aba al-Jan dan Banu al-Jan. Mereka itu adalah penghuni bumi sebelum kehadiran manusia pertama (Adam). Surah Al Hijr ayat 27 menjelaskan tentang makhluk sebelum manusia adalah bangsa Jin:“ Dan Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. (Al Hijr 15:27) ”


Makhluk yang berbuat kerusakan itu telah dicatat didalam Al-Qur'an surah Al-Baqarah 30 yang berbunyi:“ “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada Malaikat; “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi”. Mereka bertanya (tentang hikmat ketetapan Tuhan itu dengan berkata): “Adakah Engkau (Ya Tuhan kami) hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat bencana dan menumpahkan darah (berbunuh-bunuhan), padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan mensucikan-Mu?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui akan apa yang kamu tidak mengetahuinya.” (Al-Baqarah 30) ”


Nama makhluk yang diungkapkan para ahli arkeologi diatas kemudian dikaitkan pada pendapat para ahli mufassirin. Salah satu diantaranya adalah Ibnu Jazir, dalam kitab tafsir Ibnu Katsir mengatakan: "Yang dimaksud dengan makhluk sebelum Adam diciptakan adalah Al Jan yang suka berbuat kerusuhan."

Menurut salah seorang perawi hadits yang bernama Thawus al-Yamani, salah satu penghuni sekaligus penguasa/pemimpin di muka bumi adalah dari golongan jin.

Ada juga yang mengatakan bahwa telah ada 3 umat yang utama sebelum Adam. Dua diantaranya dari bangsa jin, sedangkan kaum yang ketiga adalah dari golongan yang berbeda dari Jin, karena mereka ini berdarah dan berdaging.
Penciptaan Adam
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Penciptaan Adam

Setelah Allah SWT. menciptakan bumi, langit, dan malaikat, Allah berkehendak untuk menciptakan makhluk lain yang nantinya akan dipercaya menghuni, mengisi, serta memelihara bumi tempat tinggalnya. Saat Allah mengabari para malaikat akan kehendak-Nya untuk menciptakan manusia, mereka khawatir makhluk tersebut nantinya akan membangkang terhadap ketentuan-Nya dan melakukan kerusakan di muka bumi. Berkatalah para malaikat kepada Allah:“ Mengapa engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" (Q.S. Al-Baqarah [2]:30) ”


Allah kemudian berfirman untuk menghilangkan keraguan para malaikat-Nya:“ Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah [2]:30) ”


Lalu diciptakanlah Adam oleh Allah dari segumpal tanah liat yang kering dan lumpur hitam yang dibentuk sedemikian rupa. Setelah disempurnakan bentuknya, maka ditiupkanlah roh ke dalamnya sehingga ia dapat bergerak dan menjadi manusia yang sempurna. Awalnya Nabi Adam a.s. ditempatkan di surga, tetapi terkena tipu daya iblis kemudian diturunkan ke bumi bersama istrinya karena mengingkari ketentuan Allah.

Adam diturunkan dibumi bukan karena mengingkari ketentuan, melainkan dari sejak akan diciptakan, Allah sudah menunjuk Adam sebagai khalifah di muka bumi. jadi meskipun tidak melanggar ketentuan (Allah) adam akan tetap diturunkan kebumi sebagai khalifah pertama.

Adam merupakan nabi dan juga manusia pertama yang bergelar khalifah Allah yang dimuliakan dan ditinggikan derajatnya. Ia diutus untuk memperingatkan anak cucunya agar menyembah Allah. Di antara sekian banyak anak cucunya, ada yang taat dan ada pula yang membangkang.
Kesombongan Azazil

Saat semua makhluk penghuni surga bersujud menyaksikan keagungan Allah itu, hanya Azazil (bangsa Jin) yang membangkang dan enggan mematuhi perintah Allah karena merasa dirinya lebih mulia, lebih utama, dan lebih agung dari Adam. Hal itu disebabkan karena setan merasa diciptakan dari unsur api, sedangkan Adam hanyalah dari tanah dan lumpur. Kebanggaan akan asal-usul menjadikannya sombong dan merasa enggan untuk bersujud menghormati Adam seperti para makhluk surga yang lain.

Disebabkan oleh kesombongannya itulah, maka Allah menghukum Azazil dengan mengusirnya dari surga dan mengeluarkannya dari barisan para malaikat disertai kutukan dan laknat yang akan melekat pada dirinya hingga kiamat kelak, kemudian ia dinamakan Iblis. Disamping itu, ia telah dijamin sebagai penghuni neraka yang abadi.

Azazil dengan sombong menerima hukuman itu dan ia hanya memohon kepada-Nya untuk diberi kehidupan yang kekal hingga kiamat. Allah memperkenankan permohonannya itu. Tanpa mengucapkan terima kasih dan bersyukur atas pemberian jaminan itu, Azazil justru mengancam akan menyesatkan Adam sehingga ia terusir dari surga. Ia juga bersumpah akan membujuk anak cucunya dari segala arah untuk meninggalkan jalan yang lurus dan menempuh jalan yang sesat bersamanya. Allah kemudian berfirman bahwa setan tidak akan sanggup menyesatkan hamba-Nya yang beriman dengan sepenuh hati.
Pengetahuan Adam

Allah hendak menghilangkan pandangan miring dari para malaikat terhadap Adam dan menyakinkan mereka akan kebenaran hikmah-Nya yang menyatakan Adam sebagai penguasa bumi, maka diajarkanlah kepada Adam nama-nama benda yang ada di alam semesta yang kemudian diperagakan di hadapan para malaikat. Para malaikat tidak sanggup menjawab firman Allah untuk menyebut nama-nama benda yang berada di depan mereka dan mengakui ketidaksanggupan mereka dengan mengatakan bahwa mereka tidak mengetahui sesuatupun kecuali apa yang diajarkan-Nya.

Adam lalu diperintahkan oleh Allah untuk memberitahukan nama-nama benda itu kepada para malaikat dan setelah diberitahu oleh Adam, berfirmanlah Allah kepada mereka bahwa hanya Dialah yang mengetahui rahasia langit dan bumi serta mengetahui segala sesuatu yang nampak maupun tidak nampak.
Adam menghuni surga

Adam diberi tempat oleh Allah di surga dan baginya diciptakan Hawa untuk mendampingi, menjadi teman hidup, menghilangkan rasa kesepian, dan melengkapi fitrahnya untuk menghasilkan keturunan. Menurut cerita para ulama, Hawa diciptakan oleh Allah dari salah satu tulang rusuk Adam sebelah kiri sewaktu beliau masih tidur sehingga saat beliau terjaga, Hawa sudah berada di sampingnya. Allah berfirman kepada Adam:“ Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu syurga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim." (Q.S. Al-Baqarah [2]:35)
Tipu daya Azazil

Sesuai dengan ancaman yang diucapkan saat diusir oleh Allah dari surga akibat pembangkangannya, Azazil mulai merancang skenario untuk menyesatkan Adam dan Hawa yang hidup bahagia di surga yang tenteram dan damai.

Bujuk rayunya dimulai saat ia menyatakan kepada mereka bahwa ia adalah kawan mereka yang ingin memberi nasihat dan petunjuk untuk kebaikan dan kebahagiaan mereka. Segala cara dan kata-kata halus digunakan oleh iblis untuk membuat Adam dan Hawa terbujuk. Ia membisikkan kepada mereka bahwa larangan Allah kepada mereka untuk memakan buah dari pohon terlarang adalah karena mereka akan hidup kekal sebagai malaikat apabila memakannya. Bujukan itu terus menerus diberikan kepada Adam dan Hawa sehingga akhirnya mereka terbujuk dan memakan buah dari pohon terlarang tersebut. Jadilah mereka melanggar ketentuan Allah sehingga Dia menurunkan mereka ke bumi. Allah berfirman:“ Turunlah kamu! Sebahagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan. (Q.S. Al-Baqarah [2]:36) ”


Mendengar firman Allah tersebut, sadarlah Adam dan Hawa bahwa mereka telah terbujuk oleh rayuan setan sehingga mendapat dosa besar karenanya. Setelah taubat mereka diterima, Allah berfirman:“ Turunlah kamu dari syurga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Adam dan Hawa turun ke bumi

Adam dan Hawa kemudian turun dari Surga menuju ke bumi dan mempelajari cara hidup baru yang berbeda jauh dengan keadaan hidup di surga. Mereka harus menempuh kehidupan sementara dengan beragam suka dan duka sambil terus menghasilkan keturunan yang beraneka ragam bentuknya.

Menurut kisah Adam diturunkan di Safa (Srilanka) dipuncak bukit Sri Pada dan Hawa diturunkan di Marwa. Mereka akhirnya bertemu kembali di Jabal Rahmah setelah 40 hari berpisah. Setelah bersatu kembali, konon Adam dan Hawa menetap di Srilanka, karena menurut kisah daerah Srilanka nyaris mirip dengan keadaan surga.[4] Di tempat ini ditemukan jejak kaki Adam yang berukuran raksasa.

Di bumi pasangan Adam dan Hawa bekerja keras mengembangkan keturunan. Keturunan pertama mereka ialah pasangan kembar Qabil dan Iqlima, kemudian pasangan kedua Habil dan Labuda. Setelah keempat anaknya dewasa, Adam mendapat petunjuk agar menikahkan keempat anaknya secara bersilangan, Qabil dengan Labuda, Habil dengan Iqlima.

Namun Qabil menolak karena Iqlima jauh lebih cantik dari Labuda. Adam kemudian menyerahkan persolan ini kepada Allah dan Allah memerintahkan kedua putra Adam untuk berkurban. Siapa yang kurbannya diterima, ialah yang berhak memilih jodohnya. Untuk kurban itu, Habil mengambil seekor kambing yang paling disayangi di antara hewan peliharaannya, sedang Qabil mengambil sekarung gandum yang paling jelek dari yang dimilikinya. Allah menerima kurban dari Habil, dengan demikian Habil lebih berhak menentukan pilihannya.
Adam menurut Yahudi dan Kristen

Lukisan mural berjudul Penciptaan Adam karya Michelangelo di atap Kapel Sistine di Vatikan yang menggambarkan peristiwa penciptaan Adam dan Hawa.

Kisah tentang Adam terdapat dalam Kitab Kejadian pada Torah dan Alkitab pasal 2 dan 3, dan sedikit disinggung pada pasal 4 dan 5. Beberapa rincian lain tentang kehidupannya dapat ditemukan dalam kitab-kitab apokrif, seperti Kitab Yobel, Kehidupan Adam dan Hawa, dan Kitab Henokh.

Menurut kisah di atas, Adam diciptakan menurut gambar dan rupa Allah[5]. Adam kemudian ditempatkan di dalam Taman Eden yang berarti tanah daratan, terletak di hulu Sungai Pison, Gihon, Tigris, dan Efrat (di sekitar wilayah Irak saat ini). Ia kemudian diperintahkan oleh-Nya untuk menamai semua binatang. Allah juga menciptakan makhluk penolong, yaitu seorang wanita yang oleh Adam dinamai Hawa. Adam dan Hawa tinggal di Taman Eden dan berjalan bersama Allah, tetapi akhirnya mereka diusir dari taman itu karena mereka melanggar perintah Allah untuk tidak memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat.

Setelah diusir dari taman itu, Adam harus bekerja untuk menghidupi keluarganya. Adam dan Hawa mempunyai tiga orang anak yang disebut dalam Kitab Kejadian, yaitu Kain, Habel, Set, dan yang lainnya[6]. Kitab Yobel menyebutkan dua orang anak perempuan Adam dan Hawa, yaitu Azura yang menikah dengan Set dan Awan, yang menikah dengan Kain. Baik Kitab Kejadian maupun Kitab Yobel menyatakan bahwa Adam mempunyai anak yang lain, tetapi nama mereka tidak disebutkan.

Menurut silsilah Kitab Kejadian, Adam meninggal dunia pada usia 930 tahun. Dengan angka-angka seperti itu, perhitungan seperti yang dibuat oleh Uskup Agung Ussher, memberikan kesan bahwa Adam meninggal hanya sekitar 127 tahun sebelum kelahiran Nuh, sembilan generasi setelah Adam. Dengan kata lain, Adam masih hidup bersama Lamekh (ayah Nuh) sekurang-kurangnya selama 50 tahun. Menurut Kitab Yosua, kota Adam masih dikenal pada saat bangsa Israel menyeberangi Sungai Yordan untuk memasuki Kanaan[7].

Menurut legenda, setelah diusir dari Taman Eden, Adam pertama kali menjejakkan kakinya di muka bumi di sebuah gunung yang dikenal sebagai Puncak Adam atau Al-Rohun yang kini terdapat di Sri Lanka.
Adam menurut Baha'i

Menurut pandangan Baha'i, Adam adalah perwujudan Allah yang pertama dalam sejarah[8]. Penganut Baha'i meyakini bahwa Adam memulai siklus Adamik yang berlangsung selama 6.000 tahun dan berpuncak pada Nabi Muhammad[9].

Al-Qur'an

Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran, Arab: القرآن) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam memercayai bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5[1].
Etimologi

Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)

Terminologi

Sebuah cover dari mushaf Al-Qur'an

Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:

“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.

Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:

"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"

Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.

Jaminan Tentang Kemurnian Al-Quran dan Bukti-Buktinya

Kemurnian Kitab Al-Quran ini dijamin langsung oleh Allah, yaitu Dzat yang menciptakan dan menurunkan Al-Quran itu sendiri. Dan pada kenyataannya kita bisa melihat, satu-satu kitab yang mudah dipelajari bahkan sampai dihafal oleh beribu-ribu umat Islam.
[sunting]
Nama-nama lain Al-Qur'an
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Nama lain Al-Qur'an

Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2)
Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
Al-Mau'idhah (pelajaran/nasehat): QS(10:57)
Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192) Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
An-Nur (cahaya): QS(4:174)
Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)

[sunting]
Struktur dan pembagian Al-Qur'an
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Surat dalam Al-Qur'an, Makkiyah, dan Madaniyah

Al-Qur'an yang sedang terbuka.
[sunting]
Surat, ayat dan ruku'

Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.
[sunting]
Makkiyah dan Madaniyah

Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah. Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat, sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.
[sunting]
Juz dan manzil

Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.
[sunting]
Menurut ukuran surat

Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada didalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
As Sab’uththiwaal (tujuh surat yang panjang). Yaitu Surat Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisaa’, Al-A’raaf, Al-An’aam, Al Maa-idah dan Yunus
Al Miuun (seratus ayat lebih), seperti Hud, Yusuf, Mu'min dan sebagainya
Al Matsaani (kurang sedikit dari seratus ayat), seperti Al-Anfaal, Al-Hijr dan sebagainya
Al Mufashshal (surat-surat pendek), seperti Adh-Dhuha, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Nas dan sebagainya
[sunting]
Sejarah Al-Qur'an hingga berbentuk mushaf

Manuskrip dari Al-Andalus abad ke-12

Al-Qur'an memberikan dorongan yang besar untuk mempelajari sejarah dengan secara adil, objektif dan tidak memihak[2]. Dengan demikian tradisi sains Islam sepenuhnya mengambil inspirasi dari Al-Qur'an, sehingga umat Muslim mampu membuat sistematika penulisan sejarah yang lebih mendekati landasan penanggalan astronomis.
[sunting]
Penurunan Al-Qur'an
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Periode penurunan Al-Qur'an

Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah. Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.
[sunting]
Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya

Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.
[sunting]
Pengumpulan Al-Qur'an di masa Rasullulah SAW

Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.
[sunting]
Pengumpulan Al-Qur'an di masa Khulafaur Rasyidin
[sunting]
Pada masa pemerintahan Abu Bakar

Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.
[sunting]
Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan

Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.

Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."

Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).


[sunting]
Upaya penerjemahan dan penafsiran Al Qur'an

Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.
[sunting]
Terjemahan

Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus
An-Nur, oleh Prof. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
Al-Furqan, oleh A.Hassan guru PERSIS

Terjemahan dalam bahasa Inggris
The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall
Terjemahan dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
Al-Amin (bahasa Sunda)

[sunting]
Tafsir
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Tafsir al qur'an

Upaya penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan corak ilmiah.
[sunting]
Adab Terhadap Al-Qur'an

Ada dua pendapat mengenai hukum menyentuh Al-Qur'an terhadap seseorang yang sedang junub, perempuan haid dan nifas. Pendapat pertama mengatakan bahwa jika seseorang sedang mengalami kondisi tersebut tidak boleh menyentuh Al-Qur'an sebelum bersuci. Sedangkan pendapat kedua mengatakan boleh dan sah saja untuk menyentuh Al-Qur'an, karena tidak ada dalil yang menguatkannya.[3]
[sunting]
Pendapat pertama

Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.
Terjemahannya antara lain:56-77. Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)

Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.
[sunting]
Pendapat kedua

Pendapat kedua mengatakan bahwa yang dimaksud oleh surat Al Waaqi'ah di atas ialah: "Tidak ada yang dapat menyentuh Al-Qur’an yang ada di Lauhul Mahfudz sebagaimana ditegaskan oleh ayat yang sebelumnya (ayat 78) kecuali para Malaikat yang telah disucikan oleh Allah." Pendapat ini adalah tafsir dari Ibnu Abbas dan lain-lain sebagaimana telah diterangkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Katsir di tafsirnya. Bukanlah yang dimaksud bahwa tidak boleh menyentuh atau memegang Al-Qur’an kecuali orang yang bersih dari hadats besar dan hadats kecil.

Pendapat kedua ini menyatakan bahwa jikalau memang benar demikian maksudnya tentang firman Allah di atas, maka artinya akan menjadi: Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali mereka yang suci/bersih, yakni dengan bentuk faa’il (subyek/pelaku) bukan maf’ul (obyek). Kenyataannya Allah berfirman : Tidak ada yang menyentuhnya (Al-Qur’an) kecuali mereka yang telah disucikan, yakni dengan bentuk maf’ul (obyek) bukan sebagai faa’il (subyek).

“Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang yang suci” [4]Yang dimaksud oleh hadits di atas ialah : Tidak ada yang menyentuh Al-Qur’an kecuali orang mu’min, karena orang mu’min itu suci tidak najis sebagaimana sabda Muhammad. “Sesungguhnya orang mu’min itu tidak najis”[5]
[sunting]
Hubungan dengan kitab-kitab lain
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Hubungan Al-Qur'an dengan kitab lain

Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran Ibrahim), Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut:
Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)
Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen.